ARTIKEL PENELITIAN


PENGARUH PELATIHAN SHADOW BOXING DENGAN METODE INTERVAL 
TERHADAP PENINGKATAN
KAPASITAS AEROBIK MAKSIMAL

Edy D.P Duhe
(Studi Pada Petinju Sasana FIKK Universitas Negeri Gorontalo)


 PENDAHULUAN
Sikap, kebiasaan, dan kegemaran berolahraga memang sejak dahulu kala telah dimiliki oleh bangsa Indonesia, terutama olahraga yang bersifat kependekaran seperti bela diri. Beraneka ragam aliran bela diri tumbuh dengan amat  suburnya dikalangan masyarakat  Indonesia. Olahraga yang sejenis diterima secara baik di lingkungan masyarakat, demikian halnya  olahraga  beladiri tinju.
Tinju merupakan salah satu wadah guna menyalurkan sifat-sifat  agresif, minat, bakat para pemuda maupun pemudi. Dengan tinju para pemuda dan pemudi dapat selalu meningkatkan fisik dan mentalnya serta turut menanggulangi  kenakalan remaja. Melalui pembinaan dan pengembangan olahraga tinju amatir dan profesional merupakan upaya membentuk kehidupan, pembangunan karakter dan mental serta meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang pada akhirnya dapat membangkitkan nasionalisme masyarakat.
Karakteristik olahraga tinju amatir dilihat dari penggunaan sistem energi, diperkirakan 70%  sampai dengan 80% menggunakan sistem energi  anaerobik dan 20%  sampai dengan 30% menggunakan sistem  energi aerobik (Ghosh, Goswami & Ahuja, 1995). Hal ini menunjukkan besarnya  kebutuhan energi yang berasal dari sistem anaerobik. Dengan demikian untuk meraih kemenangan pada setiap ronde dengan waktu 3 menit, petinju harus dapat lebih agresif atau menyerang lawan lebih cepat dengan kombinasi pukulan yang lebih banyak, dengan kata lain kemenangan akan diperoleh petinju melalui pertandingan dengan intesitas serangan yang tinggi.
Aktivitas yang berlangsung singkat sumber energinya berasal dari sistem anaerobik, aktivitas ini tidak dapat berlangsung lama karena sistem energi anaerobik, yang tanpa menggunakan oksigen jumlahnya  terbatas. Menurut Brooks & Fahey (1984) aktivitas intensitas tinggi dapat menyebabkan defisit dalam pengambilan oksigen dan pengiriman oksigen, yang mengarah ke kerja otot secara anaerobik, pada gilirannya merangsang glikolisis dan menghasilkan  asam laktat dalam darah sehingga menyebabkan terjadinya kelelahan dan akhirnya otot mengalami penurunan kinerja.
Perlu diantisipasi oleh setiap petinju adalah kelelahan yang terjadi pada ronde-ronde awal pertandingan karena berdampak negatif pada ronde-ronde berikutnya. Terlebih ketika lawan berusaha memaksa bertarung jarak dekat dengan intensitas serangan yang tinggi akan menyebabkan pola-pola penyerangan atau pertahanan mengalami penurunan, sebab  kebutuhan akan energi yang berasal dari sistem anaerobik tidak dapat mencukupi kebutuhan petinju sampai pada berakhirnya ronde karena kemampuan otot sewaktu-waktu akan mengalami penurunan atau kelelahan akibat kekurangan oksigen  yang menyebabkan berkurangnya energi seiring dengan meningkatnya intensitas dalam suatu pertandingan.
Oleh karena itu, meskipun penekanan pelatihan  dalam olahraga tinju amatir  harus pada pengembangan sistem energi anaerobik,  akan tetapi perlu juga berlatih dalam waktu yang lama untuk mengembangkan kemampuan aerobik. Kerr (2003) menjelaskan bahwa pentingnya pelatihan interval dengan durasi yang lama, agar dapat mengembangkan daya tahan untuk meningkatkan efesiensi penggunaan oksigen dan membantu terjadinya pemulihan yang lebih cepat antara kegiatan yang intensif  dalam aktivitas anaerobik.
Pelatihan daya tahan aerobik, mengarah pada pengembangan sistem kardiorespiratori, Kamiso (1982) menjelaskan bahwa sistem kardiorespiratori, berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan akan oksigen (O2), maka yang sangat berperan pada pemenuhan tersebut adalah paru jantung dan pembuluh darah. Paru, jantung dan pembulu darah membentuk suatu sistem yang sering disebut sistem kardiorespiratori atau respiro-cardio-circulation (paru-jantung-pembuluh darah). Kemudian Brooks & Fahey (1984) menambahkan bahwa fungsi kardiorespiratori adalah menentukan besarnya kapasitas aerobik maksimal atau VO2Max, yang selanjutnya menentukan kapasitas kerja fisik.
Kapasitas aerobik maksimal, daya tahan aerobik, daya tahan kardiorespiratori dan pengambilan oksigen maksimal adalah semua istilah yang digunakan bergantian dengan VO2Max . (Cooper 1982, Astrand & Rodhal 1977, Wilmore, Costill, & Kenney 2008). Selanjutnya VO2Max  didefinisikan sebagai kecepatan konsumsi oksigen tertinggi dicapai selama pelatihan maksimal atau secara menyeluruh. (Wilmore, Costill, & Kenney 2008).  VO2Max  juga disebut daya aerobik atau kapasitas aerobik maksimal yang merupakan kecepatan pemakaian oksigen dalam metabolisme aerobik maksimum. (Guyton & Hall,  2008).
Guidetti, Musulin & Baldari (2002) menyatakan bahwa kapasitas aerobik maksimal  atau VO2Max, ambang anaerobik dan kekuatan tubuh bagian atas berhubungan erat dengan kinerja petinju. Neumann, G dalam Batteneli (2007) mengatakan kapasitas aerobik maksimal yang diperlukan bagi atlet tinju putra adalah 60 – 65 ml/kg/menit. Petinju-petinju amatir yang dapat berprestasi ditingkat internasional, rata-rata memiliki kapasitas aerobik maksimal yang tinggi seperti pada petinju amatir India rata-rata memiliki kapasitas aerobik maksimal sebesar 55,8 ml/kg/menit, petinju Yunani, 56,6 ml/kg/ menit, dan petinju Hongaria 64,7 ml/kg/ menit dan pada petinju Perancis sebesar 64 ml/kg/ menit. Berdasarkan norma kapasitas aerobik maksimal nilai-nilai ini memiliki tingkat yang sangat baik dan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas aerobik  maksimal  yang tinggi merupakan faktor keberhasilan bagi petinju amatir.
Meningkatkan kapasitas aerobik maksimal petinju melalui pelatihan daya tahan kardiovaskular pada sesi awal pelatihan akan berdampak positif pada sistem fisiologis tubuh seperti sistem kardiorespirasi. Program persiapan awal pelatihan tinju harus fokus pada pelatihan daya tahan aerobik (Dumas dan Somerville, 2002). Pelatihan dengan cara aerobik menuntut oksigen tanpa menimbulkan hutang oksigen yang tidak terbayar, maka pelatihan-pelatihan itu dapat berlangsung lama, sedangkan pengaruh latihan tersebut adalah meningkatkaan kapasitas tubuh untuk menyimpan oksigen dan menyalurkannya keseluruh jaringan sel dimana oksigen akan berpadu dengan zat makanan untuk  memproduksi energi (Cooper, 1982).
Metode pelatihan interval dapat membantu meningkatkan kebugaran kardiovaskular, meningkatkan kecepatan, meningkatkan kapasitas aerobik secara keseluruhan. Pelatihan interval adalah pelatihan yang dilakukan dengan intensitas tinggi maupun intensitas rendah periode latihan diselingi dengan periode istirahat. (Lynn, 2009).  Menurut Rushall & Pyke  (1990) pada pelatihan interval panjang,  lama kerja 2 – 5 menit dengan intensitas 80-90% dari penampilan  maksimal, dengan ratio perbandingan antara kerja dengan istirahat 1 : 1  atau 1 : 2. Fox & Mathew 1988) menetapkan suatu pedoman dalam program pelatihan interval yang didasarkan atas perbandingan antara waktu aktivitas dan waktu istirahat sesuai dengan pengembangan sistem energi. Waktu untuk mengembangkan sistem energi aerobik dapat dialakukan selama 3 (tiga) menit sampai 5 (lima) menit dengan perbandingan 1 : 1 dan 1: ½.  Sedangkan untuk meningkatkan sistem energi anaerobik dapat dilakukan dalam waktu 10 detik sampai 2 (dua) menit, dengan perbandingan 1 : 3 dan 1 : 2. Selanjutnya  Astrand. P.O dalam Hairy (1988) menyatakan bahwa durasi pelatihan interval untuk pelatihan aerobik harus cukup lama, agar memberikan kesempatan kepada atlet mencapai konsumsi oksigen maksimal. Selama total pelatihan interval  atlet harus mampu mencapai konsumsi oksigen maksimalnya dalam waktu 3 (tiga) sampai 5 (lima) menit secara konsisten.
Pelaksanaan pelatihan interval  tentunya harus didasarkan pada prinsip-prinsip pelatihan. Berkaitan dengan prinsip pelatihan spesifik, maka aktivitas dalam pelatihan interval tidak dilaksanakan  dalam bentuk berlari seperti yang dilakukan oleh atlet-atlet sprinter atau atlet-atlet daya tahan lainnya dalam program pelatihan intervalnya. Aktivitas yang dilakukan dalam pelatihan interval adalah jenis pelatihan yang spesifik dari olahraga tinju, yaitu shadow boxing.  Moniaga (2004) menjelaskan bahwa jenis pelatihan fisik yang spesifik dari cabang olahraga tinju  seperti shadow boxing, merupakan bentuk pelatihan yang mengkoordinasikan antara teknik seperti footwork, teknik kombinasi pukulan, taktik atau strategi menyerang dan bertahan serta unsur komponen biomotorik yang dominan pada cabang olahraga tinju seperti kecepatan, kekuatan kelincahan dan daya tahan.
Pelatihan shadow boxing  pada umumnya dilakukan untuk meningkatkan kecepatan dan kelincahan gerak serta memperbaiki teknik bertinju. Pelaksanaan pelatihan shadow boxing, juga melibatkan sejumlah otot-otot besar. Seperti yang dikatakan oleh Harsono (1988) bahwa  untuk meningkatkan sistem kardiovaskular seseorang dengan efektif dan efesien secara terus menerus, maka perlu melibatkan sejumlah kontraksi otot-otot besar dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Oleh karena itu untuk mencapai sasaran pelatihan, maka  program pelatihan harus dapat disusun  berdasarkan perkiraan dan analisa yang tepat. Prinsip-prinsip pelatihan seperti prinsip individu, prinsip spesifikasi, progresif, overload dan prinsip pulih asal harus benar-benar dipahami, di samping itu pelatih dapat menentukan dosis atau takaran pelatihan yang sesuai dengan sistem energi predominan pada olahraga, seperti pada cabang olahraga tinju yang membutuhkan sistem energi anaerobik maupun sistem energi aerobik.
Berkaitan dengan pelaksanaan penelitian dan mengacu pada beberapa pendapat para ahli,  maka rancangan  pelatihan interval melalui aktivitas pelatihan shadow boxing, dimodifikasi dan  ditetapkan dengan rasio interval 3 : 1, perbandingan rasio tersubut mengacu pada peraturan tunju amatir putra yang dilakukan dalam waktu 3 menit dengan waktu istirahat 1 menit pada setiap ronde. (AIBA, 2003). Makna dari rasio 3 : 1 adalah pemberian perlakuan shadow boxing, dengan waktu aktivitas  setiap set berlangsung selama 3 menit dengan waktu istirahat 1 menit, sedangkan rasio 3 : ¾ adalah pemberian perlakuan shadow boxing dengan waktu aktivitas  setiap set berlangsung selama 3 menit dengan waktu istirahat  45 detik

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan menggunakan Randomized Control Group Pretest-Posttest Design” (Maksum, 2009).  Populasi dalam penelitian ini adalah petinju-petinju sasana FIKK Universitan Negeri Gorontalo yang berjumlah 33 orang. Populasi ini  akan dijadikan anggota sampel secara keseluruhan, dari jumlah populasi tersebut di bagi dalam tiga kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 11 orang. Kelompok dimaksud adalah,
1.    Kelompok eksperimen I diberikan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1
2.    Kelompok eksperimen II diberikan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾
3.    Kelompok kontrol sebagai kelompok pembanding tidak melakukan perlakuan yang sama, tetapi melakukan pelatihan secara konvensional.
Lamanya pelatihan 8 (delapan) minggu dengan frekuensi pelatihan dilakukan 3 kali per minggu, maka program pelatihan dilakukan sebanyak 24 kali pelatihan. Set pelatihan pada minggu pertama dan kedua ditetapkan 4 set selanjutnya ditingkatkan pada minggu ketiga dan keempat menjadi 5 set, kemudian ditingkatkan lagi pada minggu kelima dan keenam menjadi 6 set.  Pada minggu ketujuh dan kedelapan ditingkatkan menjadi 7 set. Peningkatan set pelatihan ini sebagai over load agar dapat memberikan adaptasi sistem kardiovaskular.
Intensitas pelatihan ini mengacu pada pendapat  Bompa (1999) yakni pada tingat sedang dan submaksimal, sehingga  ditetapkan dengan intensitas pelatihan yang sama sebesar 70%  pada minggu pertama. Kemudian  ditingkatkan menjadi 80% pada minggu kedua dan dipertahankan sampai pada minggu ke tujuh. Pada minggu kedelapan ditingkatkan menjadi  85%. Untuk mengontrol penyeimbangan beban dalam program pelatihan, peresiapan awal pelatihan dan pada saat pelatihan berlangsung, peneliti menggunakan metode pengontrolan melalui denyut jantung (Heart Rate) dengan alat POLAR TYPE RS 400. Oleh karena itu cara yang digunakan dalam penentuan intensitas pelatihan adalah denyut jantung dengan metode Maximum Heart Rate Reserve Method. (Karvonen dalam Lamb, 1984) dengan rumus  (THR = RHR + ….% ( MHR – RHR ).
Untuk mengetahui efek dari program perlakuan pada masing-masing kelompok pelatihan, maka dilakukan tes  kapasitas aerobik maksimal dengan menggunakan tes Bleep dikenal dengan tes multi tahap (Multistage Fitness Test),  (Kemenegpora, 2005).  Tes ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu satu kali pre-test dan satu kali post-test. Data yang di peroleh dari hasil tes, selanjutnya dianalisis dengan uji-t, yang dalam SPSS 17 adalah  paired t test. Sarwono (2009).  Sedangkan untuk menganalisis perbedaan rerata hitung akibat pengaruh perlakuan antara ketiga kelompok penelitian, maka data diuji menggunakan analisis one way anova (Sarwono 2009,  Wijaya 2010 dan Sujianto 2009). Jika dari hasil analisis one way anova menunjukan adanya perbedaan pengaruh antar kelompok, maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan Post Hoc Multiple Comparasions dan Untuk mengetahui variabel bebas mana yang lebih dominan dalam peningkatan variabel terikat (kapasitas aerobik maksimal) digunakan analisis uji statistik (LSD)  Least Significant Diffrence. Semua pengujian dilakukan pada tingkat signifikan  hipotesis α = 0,05. ( 5%)

HASIL PENELITIAN
Hasil analisis deskripsi data dan analisis uji t kapasitas aerobik maksimal kelompok eksperimen 1
Hasil  analisis deskripsi dan analisis uji t menggunakan paired t test, data kapasitas aerobik maksimal pada kelompok  eksperimen I, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Rekapitulasi Deskripsi Data dan Analisi Uji t Kapasitas Aerobik Maksimal kelompok  eksperimen 1.
Variabel
Rerata
t-hitung
Signifikansi (p)
Status
Awal
Akhir
Delta
Kapasitas Aerobik Maksimal
49.2636
50.8818
1.6182
25.692
0.000
Berbeda


Tabel di atas menunjukkan adanya peningkatan kapasitas aerobik maksimal yang signifikan pada kelompok  eksperimen I. Secara statistik dapat dilihat pada angka thitung > ttabel  atau (25.692 > 1.812). Dapat dilihat juga pada nilai probailitas  p < 0.05  atau (p = 0.00 < 0.05). Karena thitung lebih besar dari ttabel dan nilai probabilitas di bawah 0.05, maka hipotesis nol ditolak  yang berarti terdapat perbedaan rerata skor kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. Rerata skor kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2636, sedangkan rerata kapasitas aerobik maksimal sesudah perlakuan sebesar 50.8818.  Hal ini menunjukkan adanya peningkatan rerata kapasitas aerobik maksimal pada kelompok  eksperimen I sebesar 1.6182. Dengan demikian perlakuan shadow boxing interval 3 : 1 secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal.



Hasil analisis deskripsi data dan analisis uji t kapasitas aerobik maksimal kelompok eksperimen 2
 Hasil analisis deskripsi dan analisis uji t menggunakan paired t test, data kapasitas aerobik maksimal pada kelompok  eksperimen I, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2. Rekapitulasi Deskripsi Data dan Analisi Uji t Kapasitas Aerobik  Maksimal kelompok  eksperimen 2.
Variabel
Rerata
t-hitung
Signifikansi (p)
Status
Awal
Akhir
Delta
Kapasitas Aerobik Maksimal
49.2182
52.2182
3.0000
27.181
0.000
Berbeda


Tabel di atas menunjukkan adanya peningkatan kapasitas aerobik maksimal yang signifikan pada kelompok  eksperimen II. Secara statistik dapat dilihat pada angka thitung > ttabel  atau (27.181> 1.812). Dapat dilihat juga pada nilai probailitas  p < 0.05  atau (p = 0.00 < 0.05). Karena thitung lebih besar dari ttabel dan nilai probabilitas di bawah 0.05, maka hipotesis nol ditolak  yang berarti terdapat perbedaan rerata skor kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. Rerata skor kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2182, sedangkan rerata kapasitas aerobik maksimal sesudah perlakuan sebesar 52.2182.  Hal ini menunjukkan adanya peningkatan rerata kapasitas aerobik maksimal pada kelompok  eksperimen II sebesar 3.0000. Dengan demikian perlakuan shadow boxing interval 3 : ¾  secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal.

Hasil analisis deskripsi data kapasitas aerobik maksimal kelompok kontrol.
Secara kuantitatif, dapat dilihat  besar peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebagai akibat dari pelatihan konvensional pada kelompok kontrol, yaitu rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.1909 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 49.5455, sedangkan rerata delata menunjukan peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 0.3545. Diasumsikan bahwa Peningkatan kapasitas aerobik maksimal yang terjadi pada kelompok kontrol disebabkan karena  program-program pelatihan yang  ada pada sasana tinju FIKK, memberikan efek terhadap kapasitas aerobik maksimal.

Hasil Uji Beda Variabel Dependent (kapasitas aerobik maksimal) Antar-kelompok
Untuk mengetahui perbedaan variabel dependent antar-kelompok digunakan analisis one way of varians. Untuk keperluan analisis one way of varians, maka data dari kelompok kontrol di uji secara bersama-sama dengan data kedua kelompok eksperimen. Data yang diuji adalah data rerata delata dari masing-masing kelompok penelitian.
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Uji Beda Variabel Dependen Pada Antar   Kelompok

Variabel
Uji F
Signifikansi (p)
Status
Kapasitas Aerobik Maksimal
238.383
0.000
Berbeda


Berdasarkan hasil analisis seperti pada Tabel 3 tersebut diperoleh nilai Fhitung sebesar 238.383 > Ftabel sebesar 3,32 dengan nilai signifikan p = 0,00 < 0,05 (p < 0,05).  Dengan demikian, Hditolak yang berarti ada perbedaan pengaruh yang sangat bermakna dari ketiga  perlakuan terhadap peningkatan kapasitas aerobik maksimal antar-kelompok penelitian.

Hasil uji Post Hock Multiple Comparasions dengan LSD (Least Significant Diffrence)
Analisis ini dilakukan sebagai uji lanjutan dari hasil analisis one way of varians yang menyimpulkan adanya perbedaan pengaruh yang sangat bermakna dari ketiga kelompok perlakuan terhadap peningkatan kapasitas aerobik. Dengan analisis ini sekaligus memberikan kesimpulan  pelatihan manakah yang lebih dominan dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal. Untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan dengan mengacu pada data peningkatan (delta), dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel  4. Hasil uji Post-hock dengan LSD Kapasitas Aerobik Maksimal

Kelompok
Mean difference
Signifikansi  (p)
Eksperimen I
Eksperimen II
-1.38182
0,000
Kontrol
1.26364
0,000
Eksperimen II
Eksperimen I
1.38182
0,000
Kontrol
2.64545
0,000
Kontrol
Eksperimen I
-1.26364
0,000
Eksperimen II
-2.64545
0,000
         
Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa:
1)      Perbedaan mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara kelompok eksperimen  I dengan kelompok eksperimen II sebesar -1.38182 dan p = 0.00 berarti ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok penelitian. Karena hasil menunjukan  -1.38182  pada kelompok  eksperimen I, maka perbedaan tersebut menjelaskan  bahwa perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : ¾, masih lebih baik dari perlakuan pada kelompok eksperimen I,  yakni perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : 1.
2)      Perbedaan mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara  kelompok eksperimen I dengan kelompok kontrol sebesar 1.26364 dan p = 0.00 berarti ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok penelitian. Perbedaan tersebut menjelaskan, bahwa  perlakuan pelatihan shadow boxing 3 : 1 pada  kelompok eksperimen I, lebih baik dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan pelatihan konvensional.
3)      Perbedaan mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara kelompok eksperimen II dengan kelompok kontrol sebesar 2.64545 dan p = 0.000 berarti ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok penelitian. Perbedaan tersebut menjelaskan bahwa perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : ¾, masih lebih baik dari perlakuan pada kelompok kontrol,  yakni perlakuan pelatihan konvensional.
4)      Dari hasil di atas dapat ditentukan kelompok pelatihan yang lebih dominan dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal yaitu :
a)      Pertama kelompok eksperimen II dengan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : ¾.
b)      Kedua kelompok eksperimen I dengan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : 1, dan
c)      Ketiga Kelompok kontrol dengan perlakuan pelatihan konvensional.

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan shadow boxing dengan interval 3 : 1, pengaruh pelatihan shadow boxing dengan interval   3 : ¾  dan pelatihan konvensional pada kelompok kontrol terhadap kapasitas aerobik maksimal pada cabang olahraga tinju, serta mengkaji perbedaan pengaruh  kapasitas aerobik maksimal dari setiap kelompok penelitian.
Adapun pembahasan terhadap hasil  penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Pengaruh Program Perlakuan Shadow Boxing dengan Metode Interval    3 : 1 Terhadap Peningkatan Kapasitas Aerobik Maksimal.
Untuk mengetahui efek program perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1, maka data dianalisis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kelompok eksperimen I diberikan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1, setelah diberi perlakuan selama delapan minggu, frekuensi tiga kali per minggu dengan intensitas pelatihan 70% - 85% dan set pelatiahan 4 – 7 set, menunjukkan ada peningkatan yang signifikan pada kapasitas aerobik maksimal dimana thitung sebesar 25.692  >  ttabel  1.812 dengan p = 0.00 < α 0.05. Secara kuantitatif  besar peningkatan dari variabel terikat sebagai akibat dari perlakuan pada kelompok ekperimen I, yaitu rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2636 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 50.8818, sedangkan rerata peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 1.6182.
2.      Pengaruh Program Perlakuan Shadow Boxing dengan Metode Interval    3 : ¾  Terhadap Peningkatan Kapasitas Aerobik Maksimal.
Untuk mengetahui efek program perlakuan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾, maka data dianalisis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kelompok eksperimen II diberikan perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾. Setelah diberi perlakuan selama delapan minggu, frekuensi tiga kali per minggu dengan intensitas pelatihan 70% - 85% dan set pelatiahan 4 – 7 set, menunjukkan ada peningkatan yang signifikan pada kapasitas aerobik masimal dimana thitung sebesar 27.181>  ttabel  1.812 dengan p = 0.00 < α 0.05. Secara kuantitatif  besar peningkatan dari variabel terikat sebagai akibat dari perlakuan pada kelompok ekperimen II, yaitu rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2182 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 52.2182, sedangkan rerata peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 3.0000. Dengan demikian, hasil analisis ini dapat menjawab pertanyaan penelitian dan hipotesis penelitian kedua.
3.      Pengaruh Pelatihan Konvensional Terhadap Peningkatan Kapasitas Aerobik Maksimal.
Secara kuantitatif, dapat dilihat  besar peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebagai akibat dari pelatihan konvensional pada kelompok kontrol, yaitu rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.1909 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 49.5455, sedangkan rerata delata menunjukan peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 0.3545. Diasumsikan bahwa Peningkatan kapasitas aerobik maksimal yang terjadi pada kelompok kontrol disebabkan karena  program-program pelatihan yang  ada pada sasana tinju FIKK, memberikan efek terhadap kapasitas aerobik maksimal.
Hasil penelitian dengan uji-t di atas, menerangkan bahwa rerata peningkatan terjadi pada program pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1 dan   3 : ¾, merupakan metode perlakuan yang lebih dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal bila dibandingkan dengan metode pelatihan konvensional. Ditinjau dari metodologi perlakuan fisik, maka hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat-pendapat para ahli seperti :
a.       Konsep specifity of training adalah sangat penting untuk adaptasi fisiologi bagi seorang atlet. Adaptasi  fisiologis sebagai respon terhadap pelatihan fisik adalah sangat spesifik atau khas, sehingga  makin spesifik pelatihan yang diberikan, makin bagus peningkatan kinerja dalam aktifitas olahraga. Kusnanik, Nasution dan Hartono (2011). Manfaat yang maksimal dapat diperoleh dari rangsangan pelatihan yang mirip atau merupakan replikasi dari gerakan-gerakan yang dilakukan dalam olahraga tersebut termasuk dalam hal metode dan bentuk latihan kondisi fisiknya (Harsono, 2004). Pelatihan-pelatihan yang secara spesifik, dimana otot-otot langsung bergerak untuk memberikan suatu keinginan gerakan dalam suatu kerangka gerakan akan berguna untuk perbaikan teknik dan fisik atlet (Dorland’s dalam Bompa 1983).
b.      Dengan alasan specifity of training,  maka pelatihan shadow boxing ditetapkan sebagai suatu aktivitas pelatihan di dalam pelaksanaan pelatihan interval,  karena  diyakini dapat meningkatkan kinerja dalam olahraga tinju dalam hal ini adalah peningkatan kapasitas aerobik maksimal. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Moniaga (2004) bahwa  pelatihan shadow boxing merupakan jenis pelatihan yang spesifik dari olahraga tinju, shadow boxing adalah pelatihan yang mengaplikasikan keseluruhan gerak bertinju dengan mengkordinasikan unsur-unsur komponen fisik, dan teknik. Suatu manafaat dapat diperoleh dari pelatihan shadow boxing adalah Selain dapat mengembangkan keterampilan petinju, pelatihan ini juga dapat meningkatkan, kecepatan pukulan. Di samping itu  daya reaksi, kelincahan gerak kaki dan daya tahan petinju juga dapat berkembang.
c.       Sebagaimana yang dikemukakan oleh  Guidetti, A Musulin, C Baldari. (2002) bahwa kapasitas aerobik  maksimal berhubungan erat dengan kinerja tinju. Melalui metode pelatihan interval, maka kapasitas aerobik maksimal dapat ditingkatkan. Dari hasil penelitian Helgerud.  dkk., (2007) menunjukkan bahwa pelatihan daya tahan aerobik dengan metode interval pada intensitas yang tinggi  secara signifikan dapat meningkatkan VO2Max. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Tabata, dkk., (1996), penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas sedang pada pelatihan aerobik meningkatkan kapasitas aerobik maksimal dan tidak terdapat perubahan pada kapasitas anaerobik, sedangkan pada pelatihan intermiten dengan intensitas yang tinggi  dapat memperbaiki baik sistem energi anaerobik maupun aerobik secara signifikan.
d.      Hasil penelitian ini dapat mempertegas teori pelatihan yang menyatakan bahwa latihan 3 kali per minggu akan tampak peningkatan setelah perlakuan berlangsung antara 6-8 minggu (Pate, Mc Clenaghan dan Rotella, 1984). Pelatihan beban juga merupakan latihan yang bersifat anerobik, dan latihan 3 kali per minggu merupakan frekuensi latihan yang baik untuk mengembangkan sistem anerobik. Frekuensi latihan yang baik untuk endurance  training adalah 2 – 5 kali per minggu, dan untuk anaerobic training 3 kali per minggu. Latihan 3 kali per minggu merupakan frekuensi minimal yang dapat meningkatkan kemampuan fisik, teknik untuk menunjang penampilan atlet (Fox, Bowers dan Foss, 1993). Prinsip-prinsip dasar pengembangan kardiovaskular  dengan intesitas antara  50% - 60% sampai 90%  sangat efektif untuk meningkatkan kapasitas aerobik maksimal. (American College of Medicine Sport dalam Batteneli, 2009). Intensitas pelatihan ini mengacu pada pendapat  Bompa (1999) yakni pada tingat sedang dan submaksimal, sehingga  ditetapkan dengan intensitas pelatihan yang sama sebesar 70%  pada minggu pertama. Kemudian  ditingkatkan menjadi 80% pada minggu kedua dan dipertahankan sampai pada minggu ke tujuh. Pada minggu kedelapan ditingkatkan menjadi  85%.
4.      Perbandingan Pengaruh Program Perlakuan Antar-Kelompok Dilihat Dari Peningkatan Kapasitas Aerobik Maksimal.
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh program perlakuan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1, program perlakuan interval shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾, dan program perlakuan konvensional terhadap peningkatan kapasitas aerobik maksimal diuji dengan menggunakan analisis one way anova dengan Uji-F dan analisis lanjutan LSD. Hasil penelitian menegaskan hal-hal berikut ini:
1.      Hasil uji-F menegaskan ada perbedaan pengaruh yang sangat bermakna terhadap peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara ketiga kelompok penelitian. Hal ini dilihat dari angka Fhitung sebesar 238.383 > Ftabel sebesar 3,32 dengan taraf signifikan p = 0,00 < 0,05.
2.       Beda pengaruh tersebut dapat dicermati dari hasil uji LSD dengan melihat pada nilai mean yaitu :
  1. Perbedaan nilai mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara kelompok eksperimen I dengan kelompok eksperimen II sebesar -1.38182.
  2. Perbedaan nilai mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara kelompok eksperimen I dengan kelompok kontrol sebesar 1.26364.
  3. Perbedaan nilai mean peningkatan kapasitas aerobik maksimal antara kelompok eksperimen II dengan kelompok kontrol sebesar 2.64545.
3.      Perbedaan pengaruh di atas menjelaskan program perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : ¾, untuk kelompok eksperimen II lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal, bila dibandingkan dengan program perlakuan pelatihan shadow boxing metode interval   3 : 1 untuk kelompok eksperimen I, dan program perlakuan konvensional pada kelompok kontrol. Sedangkan program perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval   3 : 1, untuk kelompok eksperimen I lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal bila dibandingkan dengan program perlakuan konvensional pada kelompok kontrol.
4.      Program perlakuan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : ¾, untuk kelompok eksperimen II lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas aerobik maksimal, disebabkan waktu istirahat  yang singkat selama 45 detik mengakibatkan jantung mendapat beban lebih dibandingakan dengan pelatihan shadow boxing dengan metode interval  3 : 1 dengan waktu istirahat yang lebih lama, yakni 1 menit. Sehingga terjadinya adaptasi jantung dan peredaran darah, meningkatnya ukuran jantung, stroke volume atau isi sekuncup, cardiac output atau curah jantung, serta  persentase kerja jantung pada saat istirahat menurun. Hal ini menandakan bahwa jantung bekerja lebih ekonomis melalui pelatihan interval aerobik. Dalam menjalankan fungsinya, jantung yang terlatih dapat melakukan kerja yang lebih efesien, lebih sedikit denyut jantung dan lebih besar isi sekuncupnya. Sehingga jantung lebih ekonomis berkontraksi tapi lebih besar hasilnya, dalam hal ini darah yang dipompa keluar akan lebih banyak. Oleh karena itu, atlet  dapat lebih efesien untuk mengangkut dan mempergunakan rata-rata oksigen lebih besar, pada akhirnya dapat mengkonsumsi oksigen per unit massa otot yang lebih banyak, dan dapat bekerja lebih tahan lama. Disamping itu atlet akan mengalami pemulihan yang lebih cepat.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan simpulan penelitian sebagai berikut ini:
1.    Penerapan pelatihan spesifik dalam olahraga tinju yang  diaktualisasikan dalam program pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : 1 dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal. Secara kuantitatif besar peningkatan kapasitas aerobik maksimal dapat dilihat dari rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2636 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 50.8818, sedangkan rerata peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 1.6182. Hal menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kapasitas aerobik masimal dimana thitung sebesar 25.692>  ttabel  1.812 dengan  p = 0.00 < α 0.05.
2.    Penerapan pelatihan spesifik dalam olahraga tinju yang  diaktualisasikan dalam program pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾ dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal. Secara kuantitatif besar peningkatan kapasitas aerobik maksimal dapat dilihat dari rerata kapasitas aerobik maksimal sebelum perlakuan sebesar 49.2182 dan setelah diberikan perlakuan  sebesar 52.2182, sedangkan rerata peningkatan kapasitas aerobik maksimal sebesar 3.0000. Hal menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada kapasitas aerobik masimal dimana thitung sebesar 27.181>  ttabel  1.812 dengan  p = 0.00 < α 0.05.
3.    Terdapat perbedaan pengaruh antar  kelompok  penelitian terhadap kapasitas aerobik maksimal. Perbedaan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kapasitas aerobik maksimal antar kelompok penelitian dapat dilihat dari angka Fhitung sebesar 238.383 > Ftabel sebesar 3,32 dengan taraf signifikan p = 0,00 < 0,05. Program pelatihan shadow boxing dengan metode interval 3 : ¾, lebih efektif dalam meningkatkan kapasitas aerobik masimal bila dibandingkan dengan program pelatihan shadow boxing melalui metode interval 3 : 1 dan pelatihan konvensional.


DAFTAR PUSTAKA

AIBA, 2003. Peraturan Pertandingan Tinju Amatir Indonesia. Jakarta: PB PERTINA.

Astrand, P.O., Rodahl. K, 1977. Textbook of Work Physiology, (2nd Ed). New York: McGraw Hill Book Co
Astrand, P.O., Rodahl. K, 1986. Textbook of Work Physiology, (2rd Ed). New York: McGraw Hill Book Co
Battinelli, T. 2007, Physique, Fitness, and Performance, (2nd Ed).  By Taylor & Francis Group, LLC. Francis.
Bompa, T. O., 1983. Theory and Methodology of Training. IOWA : Kendall Hunt. Publishing Company.
Bompa, T. O., 1999.,  Periodization, Theory and Methodology of Training, (4th  Ed). Dubuque: Kendal Hunt Publishing Company.
Brooks, G.A. dan Fahley, T.D. 1984 Excercise Physiology ; Human Bioenergetics andits Application, New York : (1st  Ed) John, Willey & Sons.
Cooper,  K. H., 1982. The Aerobics Program for Total Well Being. New York: Mc. Evans Co.
Dumas,  A. dan Somerville, J. 2002. The One-Two Punch Boxing Workout. Eds. Contemporary Books. The McGraw Hill Company. From http://www.althealth.co.uk/help_and_advice/sport/boxing/. Diakses 09 Oktober 2010
Fox, E. L, Mathews, D.K  1988. The Physiologycal Basic of Physical Education and Athletics. (3th Ed) Boston. Saunders College Publishing.
Fox, E.L., R.W. Bowers, and M.L. Foss, 1993. The Physiological Basis for Exercise and Sport, (5th Ed). Madison, WI. Brown and Benchmark,
Ghosh, A.K. Goswami, A. dan Ahuja, A. (1995) Heart rate and blood lactate response in amateur competitive boxing. Indian Journal of Medical Research 102, 179-183.
Guidetti, A Musulin, C Baldari. 2002Physiological factors in middleweight boxing performance. Journal of Sports Medicine and Physical Fitness:  (2002) Volume:42-Issue:3-pp.309-314Dari http:// www.mendeley. com/research/physiological-factors-middleweight-boxing-performance/ Diakses 24 Mei 2011.
Gyuton, C.A., and  Hall, E.J, 2008. Fisiologi Kedokteran. Textbook of Medical Physiology. (11th Ed) Jakarta: EGC Medical Publisher.
Hairy. J. 1988. Fisiologi Olahraga Jilid 1.Jakarta. PPLPTK. Depdikbud, Dirjen Dikti.
Harsono, 1988. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK.
Harsono,  2004. Rencana  Program Latihan  Edisi  Kedua. Bandung.
Helgerud J, Høydal K, Wang E, Karlsen T, Berg P, Bjerkaas M, Simonsen T, Helgesen C, Hjorth N, Bach R, Hoff J. 2007. Aerobic high-intensity intervals improve VO2max more than moderate training. Jurnal Med Sci Sports Exerc. 2007 Apr; 39(4):665-71. Dari http:// www. ncbi.nlm .nih.gov /pubmed/17414804 Diakses 24 Mei 2011.
Kamiso, 1982., 1982. Hubungan Antara Penggunaan Montoye Step Tes dengan Aerobik Tes Terhadap Pengukuran Kesegaran Jasmani. Bali Denpasar. Makalah Seminar Sport Medicine FK 20 Juni UNUD.
Kemenegpora, 2005. Panduan Penetapan Parameter Tes Pada Pusat Pendidikan Dan Latihan Pelajar Dan Sekolah Khusus Olahragawan. Jakarta.
Kerr, G., 2003, Endurance Conditioning For Boxing.   From. http: /www. rossboxing.com / thegym / thegym21.htm. Diakses 12 Oktober 2010.

Kerlinger, F. N., 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Pengalih Bahasa: Landung R. Simatupang, Edisis Ketiga. Gadjah Mada University Press.

Kusnanik, N.W,. Nasution, J,. Hartono, S. 2011. Dasar-Dasar Fisiologi Olahraga. Surabaya. UNESA University Press.

Lamb, D. R., 1984. Physiology of Exercise; Respon and Adaptation, Second Edition; New York; Mc Millan Publishing Company Co. Inc.

Lynn, B. 2009.  Great Way To Spice Up Your Workouts - Interval Training. From http://apft.net/A_Great_Way_To_Spice_Up_Your_Workouts__Interval_Training.html.  Diakses 12 Oktober 2010.
Maksum, A. 2009. Metodologi Penelitian Dalam Olahraga. Surabaya. UNESA Press.
Moniaga, F. 2004. Melatih Teknik Olahraga Tinju, Jakarta: PB PERTINA
Pate, R. R., Mc Clenaghan, B., and Rotella, R., 1984. Scientific Foundation of Coahing. Philadelphia: Sounders Colleage Publishing.
Pate, R. R., 1991. Guidelines for Exercise Testing and Preception, 4th Ed. Philadelphia: Lea and Febiger.
Rushall, BS., and Pyke., F.S. 1990, Training for Sport and Fitness, The Macmillan Company of Australia PTY LTD, 107 Moray Street, South Melbourne.

Sarwono, J., 2009. Statistik itu Mudah. Panduan lengkap kumputasi statistik menggunakan SPSS 16. CV Andi Offset, Yogyakarta.
Sujianto. E.A, 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS 17. Jakarta. Prestasi Pustakaraya Publisher.

Tabata.I, Nishimura.K, kouzaki.M, Hirai. Y, Ogita. F, Miyachi. M dan Yamamoto. K. 1996. Effects of moderate-intensity endurance and high-intensity intermittent training on anaerobic capacity and VO2max. Journal Medicine & Science in Sports & Exercise:  October 1996 - Volume 28 - Issue 10 - pp 1327-1330. Dari  http://journals.lww.com/acsmmsse/Abstract/1996/10000/Effects_of_moderate_intensity_endurance_and.18.aspx. Diakses 24 Mei 2011.
Tilarso, H,  1990. Test dan Pengukuran Kesegaran Jasmani. Jakarta:PT. Gramedia

Unesa. 2009. Buku Pedoman Program Pascasarjana. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya
Wilmore, H.J.  2005. Physiology of Sport and Exercise, (3rd Ed).  Champaign, IL. Human Kinetics.
Wilmore, H.J. dan Costill, DL, dan Kenney, WL, 2008. Physiology of Sport and Exercise, (4th Ed).  Champaign, IL.Human Kinetics.
Wijaya. T . 2010, Analisis Multivariat : Teknik Olah Data Untuk Skripsi Dan Disertasi Menggunakan SPSS. Yogyakarta. Atmajaya.





Penulis : Edy duhe ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel ARTIKEL PENELITIAN ini dipublish oleh Edy duhe pada hari Jumat, 06 Juli 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 1komentar: di postingan ARTIKEL PENELITIAN
 

1 komentar: